Politik Gaduh, Pembangunan Tersendat: Warga Dorong Sidoarjo Barat Lahir.
Sidoarjo - jatim.expost.co.id // Selasa, [23/09/2025], Nasib Kabupaten Sidoarjo seakan tak pernah lepas dari kisah getir. Mulai dari bencana lumpur panas Lapindo yang tak kunjung tuntas, deretan kasus korupsi yang menyeret pejabatnya, hingga kini disuguhi drama politik: retaknya hubungan Bupati dan Wakil Bupati.
Entah apa yang salah dengan bumi delta ini. Jalan rusak, kemacetan, dan banjir sudah menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat. Bukannya berprestasi, politik di Sidoarjo justru kerap diwarnai friksi dan konflik elite.
Kemesraan saat kampanye ternyata tak berumur panjang. Kini, Bupati dan Wakil Bupati Sidoarjo disebut-sebut tengah bersitegang. Kondisi itu membuat Aparatur Sipil Negara (ASN) pun ikut terbelah: sebagian berpihak pada Bupati, sebagian lagi mendukung Wakil Bupati. Publik, akhirnya, hanya menjadi penonton dari tontonan politik yang menguras energi.
Fenomena pecah kongsi ini bukan barang baru. Sejak pilkada langsung diberlakukan pada 2005, pasangan kepala daerah di berbagai daerah di Indonesia sering kali berakhir tidak harmonis. “Jarang ada yang langgeng sampai periode kedua,” ujar seorang pengamat politik lokal.
Di Sidoarjo sendiri, sejarah mencatat gejala serupa sudah muncul sejak era Bupati Win Hendrarso, berlanjut ke Kaji Saiful Ilah, hingga Gus Muhdlor. Namun, konflik di kepemimpinan kali ini dinilai lebih kentara.
Pakar politik menilai ketidakharmonisan antara kepala daerah dan wakilnya biasanya berpangkal pada pembagian kewenangan yang tidak tegas. Bupati cenderung ingin tampil dominan sebagai “one-man show”, sementara wakil merasa dipinggirkan.
Kementerian Dalam Negeri melalui Ditjen Otonomi Daerah pernah merilis data pada 2015: hampir 75 persen pasangan kepala daerah di Indonesia tidak harmonis. Dampaknya jelas: pembangunan daerah ikut terganggu, persis yang dialami Sidoarjo dalam tiga periode kepemimpinan terakhir.
Kondisi politik yang kerap gaduh namun minim pembangunan membuat sebagian warga mulai bersuara lantang. Salah satunya datang dari Arri Pratama., S.E, warga Krian, Sidoarjo.
Menurutnya, dengan cakupan wilayah Sidoarjo yang begitu luas, ketimpangan pembangunan terasa nyata. Wilayah barat Sidoarjo kerap tertinggal dibanding kawasan tengah dan timur.
> “Apakah sudah saatnya Sidoarjo Barat berdiri sendiri? Kami sudah bosan dengan politik yang tidak jelas arahnya, sementara pembangunan di wilayah barat selalu lambat. Sidoarjo Barat harus hadir untuk mengatasi segala problem yang menumpuk,” tegas Arri.
Pernyataan ini menegaskan keresahan masyarakat akar rumput yang mulai jenuh dengan drama politik elite. Bagi mereka, kebutuhan dasar seperti infrastruktur, pelayanan publik, hingga pemerataan pembangunan jauh lebih penting ketimbang konflik personal Bupati dan Wakil Bupati.
Sidoarjo seakan menyimpan “kutukan”. Dari semburan lumpur panas yang menenggelamkan desa-desa, hingga lumpur politik yang menenggelamkan akal sehat pejabatnya. Ego para elite yang tak terkendali kini menjadi masalah baru bagi masyarakat.
Padahal, ketika dilantik, baik Bupati maupun Wakil Bupati telah bersumpah bukan hanya kepada Tuhan, tetapi juga kepada rakyat Sidoarjo untuk memberikan yang terbaik.
Kini, pertanyaan yang menggantung: apakah yang diperebutkan benar-benar kekuasaan demi kepentingan rakyat, atau sekadar kursi empuk dan akses kekayaan? Dan lebih jauh, apakah suara-suara yang menginginkan pemekaran Sidoarjo Barat akan semakin nyaring sebagai jalan keluar dari kebuntuan politik yang tak kunjung reda?.
Redaksi - jatim.expost.co.id
Tim Red
0 Komentar